Selasa, 28 Juli 2009

Penghibur Perjalanan

Suaranya parau. Melengking dan terputus-putus nyanyiannya. Saya jongkok di sayarsi Bus itu dan tertunduk. Lekat sayaperhatikan majahnya yang sayacel, sesekali saja. Pakaiannya sayamel. Sebuah lagu Pop Sunda ia lantunkan setelah mukadimmah khas penghibur perjalanan.

Sepulang dari Belanakan saya tuangkan kenangan dalam perjalanansaya mengantarkan adik kelas. Banyak yang saya lalukan di kampung Evi. Tapi sedikit sangat yang saya perbuat selama dalam Bus itu. Setelah selesai nyanyiannya, pengamen itu mengingatkan sebuah nasihat: berdoalah yang disertai usaha dan berusahalah yang disertai doa. Entah ia berdioa sebelum melangkahkan kakinya atau tidak. Yang saya fahami dari suara kacaunya, ia sungguh ingin menghibur penumpang. Menghibur agar dikasihani. Tidak, bukan dikasihani, mungkin, tapi dikasihi pantasnya.

Yang berlagu bukan lagunya
Yang bernyanyi bukan nyanyiannya
Yang bersyair bukan syairnya
Bukan suara hatinya*


Saya kira, penghibur semacam dia, yang cuma mencoba meraih hasil untuk makan hariannya, tak lah sempat mengubah lagu. Mungkin juga ia sudah punya nyanyiannya sendir. Saya kira-kira, usianya 30an. Sudah punyai istri dan anak. Jadi tak lah sempat menggubah lagu. Ya, tak lah sempat untuk itu.

Yang berlagu tak bahagia
Yang barnyanyi tiada gembira
Yang bersyair terpaksa
Demi terhenti tangis anak isterinya*


“hhh...dia ayah yang baik kepada anaknya, jika ia berkeluarga. Istrinya...semoga saja istri yang menentramkan hati.” Dengan gemercik pancuran kolam hadapan, saya mencoba mengulang ketika aku jongkok di kursi Bus itu. Saya bayangkan ketika ia dendangkan lagunya. Mimiknya mengkhawatirkan karena suaranya dipaksa tinggi mengikuti penyanyi aslinya yang mugkin ia tau di TV atau radio atau CD atau Cuma dari tremannya saja.

“seniman adalah mereka yang menghasilkan karya seni”, suatu kali seorang teman mencoba membei arti. “dan karyannya dapat dinikmati semua orang”, lanjutnya. Ia sempat ceritakan penyanyi-penyanyi, penggubah lagu, pelukis, penari, pemusik...“bahkan penulis” tegasnya. Ingatan itu berakhir di Penghibur yang sekali kutemu itu. “seniman kah ia?, atau...”

Kau seniman bukan seniman
Berlagu bernyanyi di jalanan
Kau seniman bukan seniman
Kau hanyalah pengamen jalanan*

Dia akrab di sapa pengamen. Bukan musisi atau segala atribut tenar untuk para seniman. “mungkin memang dia cuku menyandang predikat ‘pengamen’ saja?”

(*: adalah sebuah lagu yan gsempat ku gubah semasa SMA awal kelas 3, sebagai penghormatan atas semangat Penghibur yang tak sempat ku kenal, tetapi sempat mengajari: semangat berusaha. Kepadanya, saya haturkan terimakasih)

28 juli 2009 bandung

Tidak ada komentar: