Di luaran kebangsawanan Jawa lain lagi ceritanya. Para petani, suami-isteri sejak lama mengenal kerjasama, pembagian kerja. Misalnya dalam berhuma, suami mencangkuli tanah pehumaan dan sang isteri menanaminya. Suami pergi ke hutan atau perkebunan sang isteri menyiapkan hidangan untuk menyambut suami yang pergi mencari nafkah. Mereka begitu kompaknya. Kaum nelayan pun begitu. Mereka juga mengenal pembagian kerja dan menghormati tugas masing-masing. Suami pergi berlayar, isteri mengurusi rumah. Keluarga nealayan dan petani telah melakukan pembagian tugas dalam rumah tangga.
Dan Kartini, dia tulen seorang Bangsawan Jawa, hibup dalam kehormatan. Dan kita dapat menganggap wajar ketika dia protes dengan surat-suratnya kepada sabatnya. Kehidupan perempuan bangsawan memang dipingit, terkungkung, tidak bebas bergaul, langkahnya sangat sempit. Maka wajar pula bila Kartini mendambakan emansipasi , mungkin, sebab ia merasa kesepeian dan terpenjara.
Yang kita elu-elukan itu, cuma punya semangat belajar mulanya. Ia sangat senang menuai ilmu dan pengetahuan. Ia ingin bersekolah seperti kaum pria-bangsawan, memiliki kesempatan menimba ilmu bahkan hingga ke negara seberang. Dan mengenai harapannya itu, ia cuma bisa menulis surat. Kartini cuma menyurati temannya di belanda sekedar untuk bercerita tentang cita-citanya. Ia begitu tergoda oleh hak-hak yang dimiliki perempuan-perempuan Eropa. Ia tidak ikut berperang membela hak kemerdekaan sebagai suatu bangsa seperti Ibunda Cut Nyak Dien di Aceh; atau seperti kaum perempuan dari Bali yang turut mengorbankan nyawa dalam melaksanakan kewajibannya, mempertahankan hak.
Di sebuah acara infotaintment, banyak yang menghaturkan terimakasih kepada Kartini atas perjuangannya dalam emansipasi. Ada juga yang bersyukur kepada Tuhan Yang Mahaesa karena bangsa ini telah menganugerahi seorang perempuan Jepara seperti Kartini. Dan mereka juga mengungkapkan “keprihatinan kaum perempuan Indonesia bila tidak ada Kartini”.
Perempuan selain kartini...Hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...apa la hebatnya Kartini sampai bangsa Indonesia sangat mengistimewakannya dengan dibakukannya Hari Kartini! Semangat menuai ilmu kah? .........mengapa pula Cuta Nyak Dien dan perempuan lain yang secara langsung menjuangkan hak bangsa tidak diitimewakan seperti Ibu Kartini
huhh.. lagiku terjebak dlm ceremonial milad ibunda Kartini, sejak 5th silam.knp terjebak, krn kakiku melangkah saja menuruti ajakan. whuih..bener jg org bilang, kita terlalu berlebihan memaknai perayaan.. dgn dresscode khas negri (biar nasionalis katanya), aku paksakan malu'ku krn ta ku kenakan baju merah putih itu.. aih..bergincu pula (inget jaman TK dl) aku ta mau ambil resiko diketawain, jd biarlah aku ta bersolek (aku nikmati karya Tuhanku yg melekat ini) tema yg kuikuti kali ini ttg refleksi kekinian sang bunda (sst...MC bilang, kita adalah sekandung, krn ibu kita KARTINI : halah) diusungnyalah potret sang bunda di masanya. betapa jasanya mengangkat martabat perempuan Indonesia lwt menu baru bernama PENDIDIKAN, telah mencipta peradaban yg skrg kita (anaknya) kecap. katanya (menyarikan salah satu surat sang bunda) " bagaimana sebuah generasi akan cerdas kalo ibunya tdk cerdas" (aku memikirkan kalimat itu) selebihnya ceremoni dibumbui motifasi bahwa perempuanpun bisa (ato wajib) menunjukkan eksistensinya. dengan KARYA, apapun itu.(kutambahkan dalam hati, "dengan tdk meninggalkan kodratnya" )...
itukah bentuk penghargaan utk seorg Kartini?
ceremoni, motifasi, aktualisasi dlm bentuk pergerakan, eksploitasi diri
aku yakin sang bunda pun enggan di'elukan, spt (mungkin) cuk Nyak Dien dan pejuang wanita lainnya cemburu atasnya..
karna diatas prestasinya membuka mata prempuan akan pendidikan, kartini tetaplah Bunda, ibu, istri, dan wanita dg kodrat yg dikaruniakan Tuhan pdnya.
apalah arti prestasi pun emansipasi, jika wanita menjadikan dirinya bentuk lain, lelaki... menolak Qodar Alloh, aku istilakan
1 komentar:
huhh..
lagiku terjebak dlm ceremonial milad ibunda Kartini, sejak 5th silam.knp terjebak, krn kakiku melangkah saja menuruti ajakan.
whuih..bener jg org bilang, kita terlalu berlebihan memaknai perayaan..
dgn dresscode khas negri (biar nasionalis katanya), aku paksakan malu'ku krn ta ku kenakan baju merah putih itu..
aih..bergincu pula (inget jaman TK dl) aku ta mau ambil resiko diketawain, jd biarlah aku ta bersolek (aku nikmati karya Tuhanku yg melekat ini)
tema yg kuikuti kali ini ttg refleksi kekinian sang bunda
(sst...MC bilang, kita adalah sekandung, krn ibu kita KARTINI : halah)
diusungnyalah potret sang bunda di masanya. betapa jasanya mengangkat martabat perempuan Indonesia lwt menu baru bernama PENDIDIKAN, telah mencipta peradaban yg skrg kita (anaknya) kecap.
katanya (menyarikan salah satu surat sang bunda) " bagaimana sebuah generasi akan cerdas kalo ibunya tdk cerdas" (aku memikirkan kalimat itu)
selebihnya ceremoni dibumbui motifasi bahwa perempuanpun bisa (ato wajib) menunjukkan eksistensinya. dengan KARYA, apapun itu.(kutambahkan dalam hati, "dengan tdk meninggalkan kodratnya" )...
itukah bentuk penghargaan utk seorg Kartini?
ceremoni, motifasi, aktualisasi dlm bentuk pergerakan, eksploitasi diri
aku yakin sang bunda pun enggan di'elukan, spt (mungkin) cuk Nyak Dien dan pejuang wanita lainnya cemburu atasnya..
karna diatas prestasinya membuka mata prempuan akan pendidikan, kartini tetaplah Bunda, ibu, istri, dan wanita dg kodrat yg dikaruniakan Tuhan pdnya.
apalah arti prestasi pun emansipasi, jika wanita menjadikan dirinya bentuk lain, lelaki...
menolak Qodar Alloh, aku istilakan
Posting Komentar